Stop membuat anak menjadi seorang Manusia tanpa cacat !



Sebelum menulis.  Saya berdoa kepada orang tua korban agar diberikan kesabaran dan ketabahan menghadapi musibah ini. Semoga Adik EP di terima di sisiNya.  
          Baru–baru ini kota kecil kami dikejutkan soal kasus bunuh diri yang diduga kuat karena korban tidak diterima di sekolah yang dinilai favorit di salam satu SMA di kota Blitar. Sebut merk.
Okeh. Informasi  yang termuat  dalam berita, adik yang tengah menyelesaikan kelas IX ini memutuskan untuk mengakhiri  hidup, tak gemen gemen ada wasiat yang ditinggalkan. Saya membayangkan adik sangat cerdas, jujur ! 
"Maklek (panggilan untuk pengasuhnya) Jangan Teriak. Panggil Orang Disekitar. Hub Mardi Waluyo (0342-xxxxxx). Bawa Tas Ini. Kartu BPJS Ada Didalam  Amplop. Jangan Ada Ambil Gambar Disini !".
Bagaimana anak  dengan usia kurang dari toejoh belas tahoen 17) ini berpesan kepada pembantunya * Maklek untuk tidak panik. Bahwa ada persiapan yang matang sebelumnya. NO TAKE PICTURE !
Namun jika saya bayangkan ketika  saya jadi adik EP mengapa hal ini terjadi. Boleh  hemat saya beropini “ menyikapi dan melalui lautan  Kecemasan, kegelisahan”. Berita yang muncul di permukaaan ini diakibatkan harapan orang tua dan juga  prestise di depan  teman sebaya menjadi motivasi yang diduga kuat pemicunya. Bisa iya bisa tidak karena variabel untuk putus asa itu banyak, ada banyak hal dan perasaan yang dipendam sebegitu banyak. Dalam laut bisa diduga dalamnya perasaan apakah bisa ?
Saya jujur mengkritik para guru dan juga BKnya yang kurang optimal karena dalam sistem ini memuat wawasan terkait  pengelolaan  komunikasi dengan orang tua dan pengelolaan kecemasan. Karena adik EP adalah bagian dari korban mekanisme struktural pendidikan di lembaga sekolah dengan keluarga. Motif Bunuh diri  dengan alasan yang mengemuka di permukaan soal sekolah favorit hanya klise.
Biar rata Oh ya Pak Mentri pendidikan yang ikut angkat suara!  Ini bukan saja soal zonasi sekolah,  favorit dan tidak. Namun ini  persoalan esensi dasar mengenai pendidikan. Terutama rasa percaya diri dalam melewati kegagalan. Gagal atau menjadi yang terbaik bukan soal. Namun lebih pada menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri. Karena sesungguhnya hidup itu untuk mengelola  kegelisahan dan kecemasan. Jangan lagi lembaga sekolah menjadi wadah untuk melakukan kekerasan struktural secara tidak langsung untuk mencetak  menjadi manusia no 1 tanpa cela dan sempurna. Sifat Kecemasan dan gelisah adalah hal lumrah yang dirasakan  seluruh manusia di permukaan bumi bulat dan bumi datar.  Tak peduli ia profesor presiden menteri kek atau pemuka agama, Tim Avangger  pasti melewati fase ini. Gelisah dan Cemas. Bahkan saya sebagai penulis pernah gagal dalam mengelola  energi dasar manusia. Karena kegagalan serta kecemasan itu adalah  energi dalam  merefleksikan penggerak  positif  bagi hidupnya.
  Memang bakat dan minat anak itu berbeda. Kadang ada pertanyaan menggelitik  yang sekolah itu anaknya atau orang tua ? menginginkan anaknya sekolah pada merk tertentu untuk diterima. Praktik ini mahfum di Indonesia.  Bahkan untuk masuk slot ke sekolah tertentu, desas desus di masyarakat ada kalanya oknum  orang tua rela merogoh krosceknya untuk memberikan upeti pada kepala sekolah.   
          Pesan untuk orang tua ! percayalah
Anak yang tidak pintar dan tidak diterima dia bukanlah seorang yang gagal  total dalam hidup. Karena anak bukanlah obyek yang hanya harus jadi A , sekolah di B, dan harus kerja di C. Anak adalah subyek yang hidup untuk memutuskan hidupnya sendiri. Setiap  Orang tua pasti punya harapan yang amat setinggi langit. Namun ingat anak adalah titipan dari Tuhan,  ia adalah subyek  yang mampu untuk mengelaborasi informasi serta pengetahuan bagi dirinya. Saya pun beranggapan positif bahwa orang tua punya seribu pengalaman pahit dan manis melewati hidup maka tak heran  sering kali membekali dan mengandoli dengan multiple coiche  A, B, C serta D, namun bukan berarti sang anak tak boleh melewati pilihan itu sendiri.
Orang tua wajib pula  berkomunikasi secara aktif iya  untuk nilai norma serta  dan etika namun  jangan sering menekan  untuk mendikte  menjadi sangat sempurna.  Sekolah bukan lah lembaga soal  mengeluarkan nilai, lulus atau tidak,ijazah  dan sekolah berikutnya menjadi tolak ukur tunggal  menentukan sebuah  masa depan. Sekolah idealnya menjadi lentera penuntun manusia bagaimana  ia mampu Mengelola energi kegelisahan serta kegembiraan  dalam berdaulat atas dirinya   untuk melalui fase berikutnya. #Stop adik EP yang lain,  sehingga persoalan bunuh diri atas nama  pendidikan dan masa depan berulang  kembali menjadi wabah penyakit  baru bagi generasi  berikutnya. semoga

Komentar

Postingan Populer