Perspektif Sejarah Bersama Indonesia-Belanda Suatu Tantangan Pengajaran merajut sisi kemanusiaan.
(ilustrasi/historibersama.com)
Jika para guru membuka website sejarah bersama.com maka ada sedikit hal yang membuat tergelitik, tentang para warga Belanda yang menginginkan
sudut pandang utuh mengenai kedudukan bangsa mereka di mata bangsa lain. Kalaupun
sebagai wawasan semata, ? tapi apakah harus segera menutup percakapan ataukah menimba ilmu dengan sudut mereka ?
Warga Belanda merasa dalam pengajaran sejarah yang
mereka pelajari banyak hal yang dirasakan kontradiktif, apalagi warga Belanda
heran usai berkunjung ke Indonesia demi melacak jejak peran
dan asal usul keluarga mereka di Hindia Timur. Bahkan pemberitaan
terbaru, Pemerintah Belanda Protes keras
kepada Indonesia terkait terkait berita
Penjarahan kapal perang Belanda yang tenggelam di Laut Jawa, mereka meyakini
jiwa dan patriot tentara Belanda hidup secara simbolis dalam puing besi
berkarat. Tidak hanya sekadar seonggok kapal
bekas namun semangat perlawanan dalam membela serbuan Dai Nippon yang hendak
menjejakkan kaki di koloni mereka “Hindia Belanda”. Hal ini dapat dibaca lengkap dalam buku milik
OngHok Kam Runtuhnya Hindia Belanda menarasikan teater Perang di laut Jawa pertempuran
laut Prestise bangsa Barat dan tentara Jepang.
Histori bersama didirikan 20 September 2016 di
Rotterdam Belanda. Perempuan yang menyandang nama Maria van
Pagge, memilih motivasinya dimulai ketika mengurai benang kusut kisah aksi Agresi
Belanda, hal ini didorong foto kuno milik kakeknya yang bertugas sebagai marinir di Surabaya tahun 1947- 1949
dan dorongan itu ia memutuskan memulai proyek “kembang kuning “dengan mencari
sejumlah 50 veteran, baik dari pihak Belanda
dan Indonesia sejak tahun 2010.
Menurut Hemat saya, inisiator
berupaya memposisikan diri sebagai sebagai warga Negara Belanda atau bias
personal, memiliki motivasi dalam menerjemahakan kesetaraan narasi sejarah Indonesia Belanda. “
banyak like dan komentar aksi polisional era agresi militer Belanda yang
sepihak menunjukkan kedua belah pihak,
Indonesia–Belanda memiliki keingin tahuan
sejarah yang diyakini amat
menyakitkan.” Ungkapnya dalam profile pembuka web ini.
Beberapa tudingan muncul baik dari pihak Pemerintah Belanda dan
Republik. Terutama pihak Pemerintah Indonesia yang merasa catatan dalam
paradigma baru ini bertujuan untuk mencampuri Historiografi Nasional Indonesia.
Pada pihak pemerintah Belanda isu sejarah bersama telah mencoreng rasa
Patriotisme Belanda yang memang dalam perspektif mereka Indonesia adalah anak
yang perlu diberikan pengajaran tentang peradaban Baru dan Koloni yang perlu
diselamatkan
Dalam pembelajaran sejarah nasional dan juga sejarah
bersama secara subtansi memang terlampau memiliki jarak yang relatif jauh.
Dengan berbagai fakta temuan di pihak Belanda
terutama fokus terkait kurun waktu pasca
tahun 1945–1950 Belanda yang ingin kembali ke koloni lama pasca
kemenangan sekutu pada kancah Perang Dunia II.
(Edward Dowwes Dekker Melawan Dengan kisah Fiksi )
Persoalan atau Tantangan ?
Secara pengajaran memang dibutuhkan kecerdasan juga
soal bagaimana cara menyikapi cerita
sejarah pada siswa dan juga perbedaan dalam historiografinya mengenai kedudukan
sebuah negara.Pointnya di mata Belanda para
pejuang kemerdekaan yang memegang
senjata adalah teroris. Sementara di pihak Republik semua orang Belanda adalah Penjajah.
Namun hal ini akan sedikit terbantahkan tatkala kita
memiliki sudut pandang lain, sejumlah
catatan kaki berupa nama nama asing yang ikut serta dalam perjuangan dan
perintisan Kemerdekaan. Nama samaran Multaltuli
dengan kisah yang berisi kritik terhadap
praktik perburuhan dan tanam
paksa perkebunan di Hindia Belanda. Douwes Dekker, HJc Princent dan juga
sederetan nama asing lainnya yang berempati kepada perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan
dalam sebuah tayangan dokumenter di
salah satu TV swasta, HJc Princent yang membelot pada pihak Republik dikecam
dan dicap sebagai pihak yang tidak patriotic di Belanda.
Saya tertarik dengan pendapat dari Prof Ariel
Hariyanto mengenai rasisme dan juga prasangka yang yang terselip saat menyampaikan ceramah pada
pergerakan orang–orang kiri dan peran Australia dalam kemerdekaanya. Walaupun
secara ini saya membaca sekilas bahwa kontribusi Australian terutama saat Partai buruh berkuasa, bersimpati dan menjadi pendukung pernyataan Indonesia
merdeka dari Belanda. Kembali lagi ke
topik, Memang dua hal ini amatlah tidak terpisahkan karena mau tidak mau dalam
pergolakan sosial melawan kolonialisme fenomena
kekerasan dan terorisme ini akan tumbuh subur. Sperti halnya berperang gerilya,
pembunuhan orang Belanda di Aceh adalah reaksi spontan akan proses
ketidakadilan. Gerilya dan penaklukan Marsose secara brutal di pedalaman Aceh memunculkan
gerakan terror dan pembunuhan mengincar orang-orang Belanda. Namun disinilah guru dan siswa mendapat peluang dalam
merumuskan cara pandangnya sendiri. Tantangan
kedua, dalam pengajaran sejarah mau
tidak mau guru dan kurikulum telah dipatok sedemikian rupa, didesain bagaimana posisi kisah
terbentuknya Negara diajarkan, dibangun sehingga sejarah
kadangkala memiliki doktrin yang
sifatnya dosis Kolonialisme memiliki kesan traumatis saja.
Secara lebih luas guru
dapat memberikan contoh seperti gagasan untuk
berserikat, hak berparlemen, sampai dengan ucapan Tan Malaka yang dicap komunis
untuk 100 % merdeka. Saat itu jarang di
zamannya orang yang berani dengan lantang mulai berteriak bentuk dan konsepsi Negara
berdaulat dan masih bersifat ( imajiner)
Republik yang kelak menyandang nama Indonesia ( Indoes Nesoes).
Sejarah Nasional Indonesia berbeda dengan sejarah
Indonesia. Dalam petuah ruang kelas saat semester awal belajar sejarah. Dalam
pendekatan historiografi yang memiliki cara pandang Negara yang dijajah
tentunya dalam bangku mata kuliah pun ditegaskan setiap Negara sah
saja dalam menarasikan historiografi versi mereka sendiri.” Diposisikan sebagai
korban kolonialisme dan praktik eksploitasi bangsa barat. Dengan dorongan utama
sebagai penguat rasa kebangsaan atau National Characther Building atau
pembangunan karakter bangsa. Sebagai orang yang pernah menekuni bidang sejarah
dan memang saya juga tidak terlalu pintar dalam menulis atau bahkan membaca
rinci puluhan atau ratusan literatur. Hal yang membuat sontak saya membuat
tulisan ini bahwa dalam narasi sejarah yang besar dan ceritanya” ada sisi lain dari memandang persoalan manusia
yang secara kodrat memiliki sisi terang
dan juga gelapnya. Begitu pula jika kita menengok nama Sultan Hamid II yang
merupakan penggagas lambang Pancasila harus tersingkir dari catatan sejarah “dicap
pengkhianat Republik” karena secara diduga secara politik lebih condong dengan Kerajaan
Belanda.
Sifat manusia pada dasarnya memang bermacam macam ada pula dalam diri
manusia menyimpan sifat serakah, marah egois namun pula ada sepotong penyesalan
dan sikap permintaan maaf. Apabila kita
sedikit menengok sejenak Perang Eropa pada Perang Dunia II, posisi Belanda tengah
diserang oleh Jerman dan berhasil diduduki. Kekejaman tentara Jerman bahkan
menjadi mimpi buruk eropa bahkan usai perang itu berlangung. Bahkan bagi
belanda sendiri. Maka tidak dipungkiri dalam memori Belanda mereka ingat dampak
lain dari Perang yang mengatasnamakan Negara dan Keunggulan Rasial. HJc Princent menjadi
saksi bisu penjajahan di bawah Jerman sehingga ia tergerak sebagai seorang
manusia bahwa potret penjajahan tidaklah manusiawi, hingga ia memutuskan
membelot saat bertugas di Hindia pada
pihak republik yang dinilai sebagai bangsa yang berhak untuk dibela.
Saya tergelitik bagaiamana dan juga apakah halal kita memandang
gerakan mereka pada sudut pandang manusiawi. Secara sistem saya mengamini bahwa
setiap orang Eropa yang berangkat ke Hindia Belanda bertujuan secara praktis untuk kesejahteraan
dan juga menjalankan tugas negaranya. Ambivalen memang, karena apapun tentara
hanya ditugaskan oleh jenderalnya. Apalagi polemik ini banyak muncul ketika
Indonesia menyatakan Kemerdekaan dan Belanda membalas dengan serbuan militer populer
dengan sebutan NICA dan juga kisah agresi militer Belanda I dan II. Namun
sebagai seorang Nasionalis saya akan punya pendapat sendiri bahwa praktik
kolonialisme yang didukung oleh elit
lokal menjadi salah satu alasan
mengapa perlawanan baik secara pemikiran dan militer kadang memilki konsekuensi
kekerasan yang kadang tidak diharapkan
seperti peristiwa tiga daerah (Pengadilan rakyat di jalanan). Gerakan yang
dikomando oleh kaum yang beraliran kiri ini menyasar pejabat dan orang-orang yang diduga
kuat dekat dengan pihak kolonial Belanda dengan tidak pandang bulu, kekerasan
disertai pembunuhan, bahkan sempat menyasar
tokoh pribumi seperti Kardinah saudara Kartini hingga ia mengalami trauma
sejarah akan kota Tegal. Padahal dalam perjalanan Kardinah merupakan salah satu
tokoh perempuan dalam gerakan emansipasi
wanita di jamannya.
Bahkan dalam ruang imajiner saat Indonesia belum
didengungkan, berbagai kerajaan yang tersebar di nusantara harus bertekuk lutut
dibawah perjanjian VOC memonopoli hasil rempah rempah, dengan berkolaborasi pihak yang bertikai memanfaatkan peluang friksi politik di internal kerajaan. Sebagai
kompensasi, hasil monopoli dan Keuntungan VOC berlipat ganda sehingga cikal bakal perusahaan dengan hak
istimewa ini menjadi bibit kolonialisme dan sistem yang kami sebut menjarah hasil dan jerih rakyat selama 350
tahun dalam bingkai “ Pax Netherlandica”.
Rumitnya potret penjajahan tidak hanya dinilai dari
segi Revolusi fisik semata, namun juga keadilan dan kesetaraan terhadap
perjanjian luar negeri termasuk topik hutang piutang. Sehingga wajar dalam
proses ini Indonesia dirugikan. Kami paham bahwa modal asing yang masuk menjadi
bangunan megah yang mengisi kota kota, jalan, rel kereta api, pabrik dan
pelabuhan. Namun uang yang mengalir pada akhirnya juga tidak dinikmati oleh
rakyat kebanyakan, lebih banyak ditimbun di kantong negeri induk dan juga
pemilik Modal Luar negeri.
Selain itu wujud ketidak adilan dalam diplomasi juga
dipaparkan pada artikel yang ditulis J.J P de Jong MW & Lessing Sutherland juni 2004, pada tahun 1979 pemerintah Indonesia ditetapkan harus
membayar hutang sejumlah 466 juta gulden dengan jumlah total
termasuk bunga 689 jutra gulden ( 312 eouro)
yang terdiri dari utang perseorang dan swasta. Jumlah tersebut merupakan 12 %
dari jumlah yang ditagih Belanda. Hal ini kemudian ditolak dengan alasan
keberatan oleh Pemerintah Indonesia. Hal itu meruntut dari sisa perjanjian KMB
mengenai hutang piutang yang dalam periode sebelumnya saat Orde lama ditolak
dengan alasan “ saat penjajahan kami tidak meminta ganti rugi apapun tegas Ruslan
abdul Ghani selaku politisi yang aktif di serikat buruh SOKSI.
Tidak berlebihan pula, prinsip politik etis salah
satunya program Pendidikan hanyalah
kedok yang diberikan segelintir orang
untuk mencetak tenaga ahli yang mendukung tata pemerintahan kolonial dan juga
tenaga ahli yang mendukung industri perkebunan dan pertanian di Hindia. Secara
fakta bisa diakui kontribusi pendidikan yang didesain sebagai
bahasa utang budi ini, melahirkan generasi terdidik yang kelak menjadi pemimpin
dari Republik ini seperti Hatta, Sukarno, Syahrir dan Tan Malaka. Dan
pendidikan memberikan pemahaman jika
keadilan dan kesetaraan hanya dapat diwujudkan
dengan Kemerdekaan sebuah bangsa. Secara positif mau tidak mau diakui Bahkan pengaruh eropa melalui Belanda hingga kini dapat dijumpai
seperti hal sederhana aksara latin yang hingga kini tetap diajarkan
di Indonesia seperti yang lebih luas di ulas oleh Prof Deny Lombard Nusa Jawa
SIlang budaya “ batas batas Pembaratan”.
Kesenjangan dalam ruang pengajaran,
Guru pada era Revolusikomunikasi
4.0 dihadapkan dialektika historiografi
Indonesia kontemporer terutama menyikapi
sejarah bersama, pengajar dituntut literasi dan
logika yang tepat tanpa harus menggerus rasa Nasionalisme. Sudut pandang
yang diambil salah satunya adalah proses
human interest dari berbagai kesaksian baik pihak personal Belanda dan juga
Indonesia. Guru diharapkan piawai dalam membeberkan fakta dan juga mengelaborasi
merangsang imajinasi siwa dalam konteks sejarah bersama ini. Sehingga harapannya
dalam pembelajaran mengenai dialog kesejarahan
yang lebih utuh dalam memandang pesoalan kolonialisme dan sistem penghisapannya.
“ Tidak benci orangnya namun bencilah sistemnya. Karena sistem kolonialisme dan
bentuk ketergantunganya adalah sesuatu yang tidak adil dan manusiawi.
Politik mungkin memisahkan
kita namun tidak dengan Cinta
Mungkin hal ini bisa kita lihat mengapa
Syahrir menikah dengan orang yang mempunyai kewarganegaraan Belanda Maria Duchateau, Si
Nyonya Belanda Pemikat Hati Sutan Sjahrir. Wanita yang berhasil menekuk hati Syahrir ini pun mengalami desakan
saat menjalin cinta di Hindia. Dua sejoli ini bahkan dipisahkan dengan isu rasial yang
sempat diberitakan di media De sumatera Post 13 Mei 1932 jalinan cinta antara Pribumi dan warganegara
Belanda. Maria akhirnya angkat kaki dari HIndia Belanda akibat isu panas akibat
pernikahanya yang tidak sah dengan syahrir secara syariat Islam. Usai
dipulangkan Syahrir pun masih berkirim
surat dengan Maria, bahkan saat tersulit
Syahrir dibalik jeruji sampai ia dibuang
di boven Digul. Apakah beliau orang yang tidak Nasionalis ? Hal inilah yang
perlu menjadi permulaan dan juga dalam
pembelajaran. Apakah asmara itu bukan kah hal yang manusiawi bahkan antar Negara
koloni dan induknya ?
Informasi yang
tersedia Jejaring sosial youtube banyak sekali kisah yang memang jarang yang
dilukiskan dengan lugas pada sejarah Indonesia. Pemerintah Belanda secara resmi
memang meminta maaf atas praktik kolonialisme yang terjadi di Hindia Belanda beratus tahun
yang lampau.
Saya
berterimakasih atas beberapa sudut pandang yang berkisah tentang Hindia, Indonesia
di mata orang Belanda serta kejujuran yang diungkap di dalam tulisan maupun dokumenter
video salah satunya melalui website ini. Apalagi jika murid sebelumnya telah diberikan
pengertian mendalam bahwa pada dasarnya manusia baik pihak Belanda dan
Indoensia juga memiliki cinta, hati nurani dan perasaan bersalah. Bersalah
bukan bukan berarti Ia seseorang yang lemah namun ia meyakini kekuatan kebenaran
yang hakiki dalam batinnya. Kebudayaan yang diserap dari Belanda memang masih
banyak dijumpai dari berbagai sendi Republik Indoensia dan memiliki pengaruh
sampai hari ini, namun inilah sesungguhnya sisi lain dari interaksi sosial
sebuah zaman yang dianggap paling menyakitkan.
Mereka yang tersadar
Komentar
Posting Komentar