Menggali Makna Baru kata Maido, kritik dan Nyi.nyir di Tahun Politik


( ilustrasi/fb kontes truk cakep indonesia)

Kata Paido dan pengembangan kata Maido  akrab dihubungkan dengan istilah lelucon atau ujaran yang seringkali diucapkan pada orang Jawa. “Maido wae “ Bahkan kata ini menjadi semacam pantun tradisional / parikan  (folklore), iklan curhat belakang bak truk “ Semarang kaline banjir penak seng nyawang timbang seng mikir “, “ Penak seng maido “
Ungkapan rakyat pinggiran akan curahan hati seorang supir truk saja  memilki gagasan orisinil  dan diabadikan dalam tulisan penuh warna warni. “Mikir kuwi angel bro ngono sek  arep mbok paido “
Apakah hal ini si supir atau pemilik truk ini anti kritik, maido  atau anti nyinyir ?
Lantas pertanyaanya apakah kata maido bisa juga disepadankan dengan kata kritik secara makna atau lebih pada Nyinyir. Apalagi ketika kritik yang dibalut dengan emosi  memiliki peluang  untuk disyahkan di mata  Negara menjadi hoax atau bahkan ujaran kebencian. Bentuk nyinyir dan maidonya  itu memilki fakta yang valid atau memang fakta yang digelembungkan kemudian dinarasikan  disajikan dipe..lin..intir  sedemikian rupa  dalam upaya menggiring opini guna menjatuhkan kebijakan  penguasa yang sah ??
Kembali ke topik
Kritik secara kebahasaan berarti sesuatu yang sifatnya kecaman atau tanggapan yang merupakan pertimbangan baik dan buruk  terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Kata Nyi.nyir  sendiri dalam kamus bahasa Indonesia  yang saya kutib dari KBBI web.id mempunyai makna mengulang perintah atau permintaan, nyenyeng, dan cerewet  sedangkan kata benda nyinyir berarti lebih pada keadaan atau  sifat.
Paido yang kerap kali digunakan  dalam  dialog orang jawa menjadi maido  yang memiliki makna  ora diandêl (kandhane, omonge), 2 disrêngêni, disalahake.(www.aksara.org). KBBI  Ma.id.o / maido diserap dalam bahasa Indonesia yang berarti mencela karena tidak percaya ( perbuatan atau hasil pekerjaan orang lain)
Disalahke berarti ada sesuatu yang tidak benar namun sedikit pada praktiknya kata ini  fasih digunakan untuk menyerang secara personal entah perbuatan atau bahkan pemikiran. Misal orang jowo akan berujar “alah dadi wong kok maidoan, marake pait tur yo ndak nyenengke” dan dari  kalimat tersebut merupakan representasi dari keluh kesah karena ujaran tersebut. Karena ada perasaan muak tentang ruang personal.
Apalagi ekspresi rasan rasan dengan bermetamorfosa menjadi siluman  maido    ini menjadi perbincangan yang menarik dan energik pada  keseharian diruang  persaingan pertemanan, asmara, kantoran, dan tak lupa obrolan di pasar. lalu saya bertanya dan kadang bingung apakah ini sepadan antara kritik dan maido ???
Pak Jokowi pernah berpesan “ Kritik itu harus disertai dengan data serta solusi konkrit” pemimpin itu harus optimis dan memang tantanganya berat” muncul kaos gerakan #ganti presiden 2019. Memangnya kaos bisa ganti Presiden ? “  ujar dalam pidato dihadapan para relawan
          Dengan demikian  apa yang menjadi tataran pemaknaan  dari kedua diksi yang berasal dari Jawa dan juga lingua franca Bahasa Indonesia ini. Apalagi di jaman sekarang menuju Tahun politik “ berebut kuasa “ kritik yang akan ditujukan ternyata sia–sia dan hanya dikatakan ujaran kebencian semata tanpa” tedeng aling aling.
Jangan- jangan saya salah alamat ketika maido sebagai bagian  pelepas lelah. ternyata adalah bagian dari kritik membangun, energi saya untuk mencatat sekaligus mencacat keburukan orang ternyata ia sadari kesalahannya, “ berapa kalori yang saya keluarkan men !”
Bahkan untuk urusan pemberitaan  yang sifatnya tuduh dan menduga, menjadi sandang pangan  layaknya akun lambe turah yang kadang kadang membuat kicauan yang cukup nggemesi sekaligus jaluk diprekesi. Politisi Fadli zon pun ketika dipaido  mengancam  admin dari lambe Turah yang menyebarkan pernah dekat dengan petinggi MCA,  pertarunganya diabadikan dan diceritakan  dengan runtut oleh  redaksi mojok.co 3 maret 2018.

Hoaks tak perlu dilawan yang perlu diperbesar adalah volume bernalar ? apakah betul?
“Artinya maido dan kritik itu tipis sayang” hanya saja kapan dimana dan kapan fakta itu tinggal dikatakan tidak benar bagi bagi personal dan penguasa tergantung apa kepentingan dibalik bantahan atau pengaminan kejadian. Maka jaman  yang dikatakan gemar membangun  dan juga   penuh  bumbu kritik serta intrik, malah bisa kita  jadikan peluang  untuk membangun  diri kita sendiri dan masyarakat menjadi cerdas dalam memilih, memilah  dan mengkritisi sendiri pemberitaan dalam tajuk  revolusi ketiga di dunia  yaitu “revolusi Digilat”. (baca diwalik)” Selamat datang di era Disruption” kata Prof Reynald Kashali
Apalagi ukoro maido  teranyar   yang  dibungkus dalih kemasan religi, hal ini menambah suguhan pemberitaan sehari-hari para elit politik hari ini. Bahkan menteri agama Lukman Hakim menitahkan untuk meniadakan ceramah politik secara praktis agar anjuran memilih partai A dan calon B ada baiknya tidak dihembuskan pada ruang keagamaan. Hal ini bertujuan agar keadaan tetap sejuk dan segar penuh wangi  di tengah kemajukan bangsa Indonesia.
Namun pada sisi lain ekonomi yang kembut kembut juga membuka peluang untuk orang rasan –rasan menghujat dan juga reaksi tidak puas baik di medsos atau obrolan warung kopian.
Misal sampeyan dadi rakyat cilik  khususe poro mudo lan mudi  trus demo pinggir ratan “piye tow pak kok barang barang sampeyan undakne ?
Trus dijawab karo panguasane
“tole tole opo seng isok mbok kekne karo negoromu lek mung penggaweanmu sambat iki ? “ wes kerjo seng bener
Jadi ibarat meminjam istilah demokrasi yang berasal dari kata Demos (rakyat) dan kratos (rakyat)  lalu kawula alit yang harus berada di mana  ?! Lha trus niki juragane nggih sinten ?  
Demokrasi dipercaya banyak orang menjadi jargon “ Democracy for Prosperity” Demokrasi untuk  kemakmuran. Namun konsekuensi dari titah Demokrasi, jika saya meminjam pernyataan  dari abang Fahri Hamzah  yang lama tak muncul di media “ ibaratnya kita bersama dengan penuh  kemesraan (bersama ibu dari  anak anakku. oh ups)  membangun rumah di tepi rel kereta api, selalu saja berbunyi ketika lokomotif hendak lalu lalang dan tak lupa timbul bunyi khas besi berton –ton menggoyangkan kaca jendela  “ kletek tek tek2 mirip bangunan yang parkinson “.
Saya tidak membela siapa siapa namun mengajak para khalayak ramai, Mari memilih menjadi orang  Waras  secara pikiran dan hati  menjelang  Tahun politik 2019 kelak yang konon katanya PEMILU memiliki kontribusi  tidak langsung pada  kebijakan gas elipigi mini 3 kg, listrik yang masih disubsidi, BBM  relatif stabil, itupun kalo harga minyak naik tak melonjak, pajak naik atau turun untuk pembangunan, cukai rokok( asline gen isih kuat tuku rokok), subsidi pupuk, dan mampu bertarung dengan kebijakan luar negeri yang tidak menguntungkan negeri kita karena “kita pasar dan sumber energi potensial.
“ mikul duwur kependem mesti” sepi ing pamrih rame dipaido garwo “ kalaupun tak kuat “ jangan minum oplosan “ ! itu berat bung.

Komentar

Postingan Populer