Bentuk Ideal sebuah warung kelontong di Nusantara
(ilustrasi gambar diambil dari jancok.com)
“ gak usah ke moll, ke
betamaret aye udeh girang banget bang “
Sihir belanja ini memang menjadi penghias di laman berbagai media massa
dengan hiruk pikuk serta peristiwaa naas di beranda depan kasir.
‘Kisah kisah ini dalah sekelumit kecil kekuatan super power kapitalisme yang melebihi kekuatan dari
ultraman mengalahkan musuhnya hanya dengan mengantongi waktu beberapa menit. Pada satu
sisi menjadi video viral ini membuahkan iklan
gratis bagi merk toko tertentu.
Yang menjadi tantangan pada praktiknya waralaba yang menjamur di musim
hujan ini apakah akan mematikan pedangan kelontong partikelir, bakul rokok
eceran dan juga bakul lan sak piturute. Pada kisah ini terselip pula fenomena
dua pemodal yang selalu menjadi bintang primadona di arena toko kelontong modern untuk membuka pasar di
pelosok nusantara. “Arep nyebut merk nanti kira pitnah ! “. Bahkan pernah
diulas di mojok untuk seruan “ berdamailah saudaraku”
Ada pula yang berpendapat “ ini era disruption, Dengan persaingan akan timbul kepintaran dan
juga peluang apa yang bisa menjadi rangsangan otak “ Dan saya bayangkan ibarat
Liga Indonesia tayangan langsung club sepak bola Bhayangkara FC vs club kampung saya, yang
pasti juga pola permainan dan hasil skor
pertandingan akan malah bisa ditebak sebelumnya
bukan ??
Bicara idealnya mah Pemerintah berusaha melindungi
ekonomi kerakyatan, Bahkan dicantumken dalam sila ke kelima Keadilan sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia. Negara dan juga Pemerintah yang sebagian haknya
dititipkan oleh rakyat menjadi pelindung sekaligus wasit “. Kata adil belum
tentu diinterpretasikan dengan baik, jika saya berusaha menengok kebijakan
ekonomi banteng dan Ali Baba saat permulaan kelahiran Republik yang masih muda. Dengan demikian
peran pemerintah secara tidak langsung bertanggung
jawab agar jalanya persaingan ini bisa secara
sehat dan adil pada era transisi tentang kepemilikan modal yang terpusat pada
segelintir golongan saja. Namun jika saya menongok spion 3 detik ini dikira
akan menghembuskan isu sara dianggap ujaran kebencian, toh ini hanya pikiran
saya saja.
Pada Teras Nasional , berita terhangat cuss diseduh langsung oleh media, Pemerintah
mendorong untuk ritel masuk ke Pesantren untuk menggalakkan ekonomi umat “tren
dinilai positif “ dengan tujuan meningkatkan ekonomi umat dan belajar mengenai
sistem jual beli modern. Sejumlah 10 ritel akan direncanakan diresmikan Presiden
Jokowi pada Mei 2018.
“. Sejumlah pihak yang menyatakan siap berkontribusi
adalah Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, dan Super Indo."Sasaran
gerai [pangsa pasar itu nantinya bukan hanya melayani pesantren saja. Karena
terlalu kecil secara ekonomis. Kami juga mau meningkatkan kegiatan ekonomi di
pesantren tersebut," ungkap Enggartiasto. ( tirto.id/ 11 april 2018 ).
Pemerintah yang pasti tidak tinggal diam, “ Semua ada
aturan dan jika melanggar administrasi akan kita tindak”. Realitasnya Di kota
dan kabupaten tempat lahir beta, merk
tertentu ada yang tidak jauh hanya 200
meter dari pasar tradisional dan buka selama 24 jam. Hanya 200 meter ! khalayak ramai. Namun namanya aturan itu butuh
yang namanya pelanggaran, sehingga aslinya aturan memang dibuat untuk
dilanggar.
Toh pengusaha akan bilang “ ini kan membuka peluang usaha dan juga
membuka peluang tenaga kerja.
“Segment pembelinya juga beda ? dan juga kan ini bagian dari kenyamanan
konsumen dan kepastian harga “ Pasti pas !
Bahkan ukoro maido ini hanya saja
terlewat pada Koran lokal interlokal baik
digilat dan cetak. Dicetak dengan judul tuinggi sekali namun hanya satu hari. “Disperindang
kota bumi avatar Batasi Izin Pendirian
Minimarket”
Belum lagi pada aturan
lokal di bumi kelahiran saya Sesuai Perda No 17/2011 jarak waralaba dengan pasar tradisional
minimal 1 kilometer dan harus diisi dengan 1 % ploduk ploduk lokal. Namun belum menemui titik terang dan masih berada
dalam titik titik.
Bangunan serta isinya, aktifitas
pegawe masih lancar nyatanya juga tidak
tergoyahkan sampai sekarang megrong megrong, bercahaya di malam hari dua puluh
empat jam ada pula yang dekat pasar.
Bahkan dalam obrolan warung kopi sehabis Pilkada ada yang
berguman akan banyak bermunculan toko kelontong modern berbasis digilat.
Artinya memilih pemimpin dengan ongkos mahal ini perlu lagi menjadi
pertimbangan tidak hanya soal dia dekat dan merakyat, tapi yang lebih penting
kebijakannya.
Kebijakan baik dalam berbagai
bidang yang tidak memberikan peluang kekerasan struktural dan peluang pembunuhan
ekonomi secara tidak langsung.
Sekali lagi apakah amplop itu lebih besar pengaruhnya dari UU juga.
Sebagai manusia normal sekaligus pekerja partikelir dan bergaji cupet, kasih
amplop merupakan roti gurih bukan main sebagai pengganti jajan dan secara tidak
langsung membungkam sikap kritis kawulo
telih macam saya.
“Wes mas jenengan mboten sayah tow
lek maido, rejeki kuwi enek seng ngatur”
Komentar
Posting Komentar