Optimalisasi Bimbingan “ Kecemasan “ oleh Konseling antara Harapan dan Kenyataan
Kejadian Bunuh diri yang menimpa siswa yang lulus dari Sekolah Lanjutan
Pertama muncul dalam dua hari ini, baik
pemicunya berupa dugaan tidak
diterima di sekolah favorit disertai
masalah keluarga dan tak selang waktu lama satu kasus menyusul dengan dugaan tidak dibelikan sepeda motor oleh kedua orang
tua. Kedua remaja Belia yang merupakan warga kabupaten
Blitar, EP (16) dan BI
( 15 ) iswa yang tengah duduk di sekolah menengah ini cukup menghebohkan dan terpaut satu hari. Kedua kejadian ini tak pelak Menjadi persoalan
mendasar dan menggugah kembali pada pertanyaan,
seberapakah efektifkah lembaga Bimbingan
Konseling di Sekolah ?
Apabila ingin dimunculkan banyak ragam
pernyataan, apakah yang salah orang tua dalam berkomunikasi ? pola pengasuhannya
? nilai yang dianut sang anak dan cara mengendalikan kecemasan ? atau lembaga sekolah yang tidak optimal dalam
memberikan tempat curahan hati ?
Merefleksi rentetan
kasus bunuh diri di kalangan pelajar yang terjadi tidak lebih dari dua hari di Kabupaten dan
kota Blitar. Masyarakat dibuat kecewa dan membuat kita mengelus dada apa yang
sebenarnya terjadi di benak anak belia yang memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan
cara tragis. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses pendidikan kita hari
ini. Jika diruntut dari pertanyaan diatas justru ke manakah lembaga
sekolah yang menaungi dan memberikan
pengetahuan tentang pengendalian diri berupa aspek kecemasan ini ? Secara kodrat sifat resah dan kecemasan memang sedianya
selalu menjadi bagian dari persoalan mendasar manusia.
Amanat UUD 1945 pasal 31 yang memberikan tanggung jawab Pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa yang berikutnya diatur dalam UU. Secara lebih rinci diatur
pula UU no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar aagar peserta didik dapat
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,
pengendalian diri kepribadian kecerdasan, akhlak yang mulia serta ketrampilan
yang dimiliki masyarakat, bangsa dan Negara.
Prinsip Pengendalian diri hal ini diwadai umunya pada kelembagaan
Konseling di tiap sekolah menengah
sampai Perguruan Tinggi. Kewenangan bimbingan
Konseling melalui PERMENDIKNAS no 22 tahun 2006 tentang isi dan dan satuan
pendidikan dasar dan menengah mengenai pelayanan konseling berupa
a.
Memberikan kesempatan peserta didik
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kemampuan bakat dan minat
b.
Masalah pribadi, kehidupan sosial
belajar dan pengembangan karier
c.
Difasilitasi / dilaksanakan oleh
konselor
Selama ini
kesan konselor di sekolah hanya menangani siswa yang sering melanggar tata
tertib di sekolah. Sehingga citra Bimbingan Konseling hanya sekadar tukang
stempel anak–anak yang bandel. Bahkan mereka yang ke BK memiliki kesan hanya
yang bermasalah saja.
Mereka yang
memilki kebuntuan dan juga perasaan galau merasa meontok tidak memiliki tempat curhat sehingga dua
kasus yang menimpa saudar PE dan BI hanya disimpan dalam buku catatan
masing-masing. Catatan berupa wasiat itupun hanya dilakukan sebelum memutuskan untuk jalan pintas secara
tragis. Lantas dimanakah pendampingan konseling yang essensinya menjadi bagaian
sturktural dalam pendidikan ?
Secara sosial
dan budaya anak–anak jaman now memiliki tantangan lebih besar untuk bergaul
dengan teman sebaya. Harapan yang muncul pun
amat beragam mulai dari kepemilikan alat komunikasi teranyar, kendaraan
nan modern, nilai prestasi tinggi, sekolah favorit namun itu hanyalah panggung depan dalam
memberikan bentuk kepuasan semu semata
agar diakui pada komunitas maupun jejaring pertemanan. Namun Demikian perlu dikoreksi bagaiamana Sekolah menjadi wadah dalam proses informatif terkait penanggulangan
kecemasan dalam diri mereka ditengah
tuntutan keluarga dan juga paradok gaya hidup yang sering dipraktikkan di dunia
maya dan masyarakat. Faktanya dua nyawa
yang melayang dengan beragam motif ini layak menjadi cambukan bagi pendidikan
khususnya di daerah dan Indonesia,
sehingga secara kelembagaan terutama
Dinas Pendidikan harus bertanggung jawab
untuk tidak tutup mata. Sekolah bukan saja
dianggap dealer yang mengeluarkan
ijazah dan nilai secara angka semata, namun mencetak leader bagi dirinya sendiri dengan
mengakomodir seluruh daya tangkap baik kekurangan
dan kelebihannya menjadi orang yang berdaulat atas dirinya.
.Dengan adanya dua kejadian yang berturut turut ini
maka Pemerintah Daerah mempunyai tantangan ke depan serta memilki peluang kewenanganan
penuh guna mengoreksi informasi serta pendampingan Konseling sekolah terkait pengelolan kecemasan. Pemerintah
daerah yang seharusnya peka lewat institusi Dinas Pendidikan bisa menjadikan
hal ini koreksi dan refleksi akan proses praktik konseling sekolah menengah dan
atas di daerah.
Pedagogi yang
esensinya menuntun pencerahan pada siswa menanggapi segela bentuk kecemasan difasilitasi secara optimal melalui sekolah. Sehingga keresahan dan kecemasan
ini menjadi energi perubahan untuk membangun dirinya untuk lebih
baik. Soko Guru Negara adalah keluarga.
Maka selayaknya tugas pemerintah dengan
amanat UU menjadikan lembaga pendidikan
memfasilitasi siswa menjadi tunas bangsa yang optimis
dengan penuh kegembiraan
menyambut masa depan sebagai penerus
bangsa. # Stop bunuh diri pada anak.
Komentar
Posting Komentar